Jalanan kota masih seperti biasa padat dengan orang yang sibuk dengan kegiatan mereka. Wangi khas musim panas masih segar di awal musim. Aroma bunga basah karena hujan tadi membaur dengan hangat mentari di balik awan kumulus. Aku berjalan sendiri ke halte bus terdekat sekolah. Sebuah kebiasaan aku berjalan ke sana, tidak sepenuhnya biasa sih karena Hani yang biasa menemaniku tak ikut.
Aku menyesap milkshake cokelat yang kubeli tadi. Segar dan dingin menyejukkan pikiran yang masih pening usai pelajaran tadi. Terima kasih untuk 25 soal laknat dengan rumus mengerikan yang membuatku menghabiskan istirahat dengan kesal. Sialnya besok aku kembali berkutat dengan soal itu untuk ulangan.
Awan-awan membentuk deretan panjang lembut seperti serbuk. Aku memejamkan mata dan mencoba mencari beberapa ide untuk membuat artikel di blog. Itu kegiatan menyenangkan selain bermain dengan kucing di rumah. Aku terkekeh kecil saat mengingat bayangan kucingku yang merajuk di kaki setiap aku pulang, kebiasaan jika lapar.
Setiba di halte bus, aku duduk dan mengayunkan ke depan dan ke belakang. Entah kenapa, rasanya asing berada di halte sendirian. Mungkin karena halte yang biasanya ramai menjadi sepi. Entahlah, asing saja rasanya.
Beberapa menit dan bus akhirnya tiba. Pintunya terbuka ketika berhenti tepat di depanku. Aku bergegas masuk mencari tempat nyaman. Keadaan yang ramai memaksaku mau tak mau berdiri. Seluruh tempat duduk penuh diisi siswa dengan seragam sekolah menengah atas. Aku mengalihkan tatapanku menuju segala penjuru, kebiasaan meneliti suasana.
Mayoritas penumpang adalah laki-laki, hanya ada perempuan yang dapat dihitung dengan jari. Kuperhatikan lekat beberapa kursi di depanku. Segerombolan anak laki-laki duduk tertawa. Namun, entah kenapa ada yang terasa tak asing. Mataku membulat menatap sosok yang familiar bagiku.
"Yonas sekarang jadi anak yang rajin, tapi tetep nyebelin sih!"
"Yonas kampret, sekarang dia lebih tinggi dariku! Padahal oas pertama masuk aku lebih tinggi!"
"Yonas juga sering mendapatkan nilai bagus ya sekarang?"
"Si sialan Yonas juga rajin ikut lomba musik."
Sial, aku mengumpat karena di waktu tak tepat bertemu dengan dia. Kugigit ujung sedotan cemas sebelum meneguk minumku cepat. Mencuri obrolan tadi sukses membuatku tersadar dalam situasi apa aku sekarang. Oh Tuhan, bisakan aku berharap ibu menjemputku sekarang?
"Yonas kan besok lusa jadi kapten di pertandingan antar sekolah," suara bariton di belakangku membuatku menoleh menggerakan ekor mata menatap sosok itu. Oh, sialan rupanya Samuel, temanku dulu di bangku sekolah menengah pertama. Hei! Kenapa dia terlihat sedang memperkeruh suasana sekarang sih?
Yonas, Adheyaksa Yonas, anak laki-laki yang dulu kusuka di bangku sekolah pertama. Saat itu perasaan kami saling berbalas, bahkan aku ingat jelas tanggal jadian kami di 1 April sekitar 3 tahun lalu. Hubungan kami berjalan baik saaat itu. Dia perhatian dan peka, walaupun sedikit cuek. Bahkan saat kelulusan, ia memberiku salah satu kancing jasnya dan sebatang cokelat.
Namun, semua itu lenyap ketika beberapa bulan di sekolah menengah atas. Kami hilang komunikasi dan kuanggap saja putus karena semakin kupikir hubungan kami semakin tak jelas. Aku tak dapat kabar apa pun darinya. Bahkan Satya, tetangga Yonas yang kebetulan kukenal, seperti hilang disapu angin sama dengan dirinya.
Entah sudah beberapa bulan berlalu tanpa kabar darinya. Kuanggap kami selesai, walaupun kami tak terlalu jelas memang. Namun, sebuah kesialan kami sempat sepulang ia latihan bola. Mungkin hanya aku yang menyadarinya, tapi aku tak mau menyapa.
Waktu terys bergulir dan aku bertemu Yonas beberapa kali setelahnya. Sebenarnya kami pernah bertatap muka secara langsung ketika ada festival lampion. Namun, aku segera menarik temanku untuk menutup tubuhku agar ia tak melihatku jelas. Lalu apa yang terjadi sekarang? Dor! Kini aku terjebak satu bus dengan sosok yang tak pernah ingin kusapa tiga tahun belakangan ini.
Mengingat beberapa hal membuatku tak sadar jika bus sudah berhenti di halte. Aku yang meneguk minumku nyaris tersedak kala seorang menepuk bahuku. Kutoleh ke belakang dan menemukan sosok laki-laki yang duduk di samping Yonas tadi tersenyum lebar padaku. Dia berhasil membuatku menggerutu dalam hati.
"Aku turun di sini loh. Buruan duduk di samping Yonas sekarang," ucapnya cepat lantas mendorongku merapat ke kursinya tadi. Tak lama kemudian ia bergegas turun dari bus. Meninggalkanku terbengong dengan hati penuh makian.
"Kamu yakin gak mau duduk kayak omongan temenku tadi, Tya?" Yonas sukses menyadarkanku dari hal tadi. "Mau duduk?" tawarnya sekali lagi.
Aku menghela napas mendengarnya, walaupu sungkan banget akhirnya aku duduk juga di sampingnya. Yonas hanya tesenyum sepintas. Aku membuang muka ke jendela sisi kanan bus. Pemandangan berubah seirama dengan roda bus yang berputar. Kuhembuskan napas panjang sebelum meminum milkshake yang masih setengah gelas.
![]() |
Ilustrasi oleh restyu. |
Semuanya terasa aneh sekarang. Bahkan Milkshake cokelat yang awalnya manis sekali mulai hambar rasanya. Aku menggigit ujung sedotan seraya berpikir. Kenapa semua terjadi tidak tepat seperti sekarang? Bahkan aku tak pernah menduga hal ini akan terulang. Andaikan terulang pun paling tidak, tak butuh ada orang yang mengompori nama Yonas tadi seperti tadi.
Semua semakin canggung dan aneh. Jalan menuju rumahku masih cukup jauh dan kami tak berniat mengobrol. Aku meremas plastik minumanku gemas. Aku benci keadaan ini.
"Kamu di kelas mana sekarang?"
"Aku kelas 12-5," jawabku malas. Tak terlalu mau menanggapi sebenarnya tetapi entah kenapa aku menjawabnya pendek.
Yonas membulatkan bibir. "Aku kelas 12-4 sekarang. Tepat satu tingkat di atasmu. Apa aku sekarang lebih pintar darimu ya?" balasnya sombong.
Aku mendengus. Tak peduli sebenarnya. Masa bodohlah dengan jawaban yang kelewatan percaya diri. itu. "Terserahlah," balasku kesal, "masih aktif bermain bola?"
Dia mengangguk membenarkan. "Masih kok, lusa aku menjadi kapten di pertandingan antar sekolah," balasnya sombong sebelum memberikan cengiran lebar. "Mau datang ke pertandinganku gak?"
Aku diam ragu untuk mengambil keputusan. Apa mungkin pertemuan ini akan menjadi satu sambungan baru bagi kami? Soal perasaan? Aku tak bisa menjelaskan. Masih terlalu rumit sepertinya. Kami butuh waktu berpikir karena kami hilang komunikasi dan tidak jelas sekarang. Namun, setidaknya aku punya satu keputusan untuk masalah ini.
"Mungkin saja," balasku tak yakin. Kulihat sudut bibir Yonas terangkat sedikit. "Semoga beruntung di pertandingan lusa," tambahku.
Yonas tertawa mendengarnya. Senyum merekah di bibirnya, "Terima kasih dukungannya."
Sosok itu menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuh di punggung kursi. Kutatap matanya yang tepejam itu sebelum menoleh ke jendela di sebelahnya. Sebentar lagi aku akan sampai di halte dekat rumahku, aku harus bersiap turun.
"Maaf."
"Hm?"
Ia menatapku dan sesuatu yang tak dapat kupahami. "Ponselku hilang saat awal masuk sekolah dan aku gak bisa dapat nomormu, padahal aku sudah tanya ke banyak orang. Aku mau coba ke rumahmu tapi aku ragu."
Aku diam mendengarnya. Kaget dengan hal yang kudengar. Kugigit bibirku kehabisan kata-kata. "Semuanya sudah terjadi, yang lalu ya biar berlalu," hanya jawaban itu yang kuucap.
Entah kenapa aku campur aduk mendengarnya. Mungkin paling tidak ada aku mengetahui kenapa kami bisa hilang komunikasi atau mungkin rasa tenang hipotesis burukku tak terjadi. Namun, di sisi lain ada keraguan yang masih terselip.
"Aku mau ngobrol lebih lanjut tentang kita."
Satu topik yang tak pernah melintas di pikiranku, tentang kita. Aku bingung mau balas apa jadinya. "Sudahlah," hanya itu yang terucap.
Kulihat Yonas mencelos mendengarnya. Aku segera berdiri saat halte tujuanku mulai terlihat. Buru-buru aku bergegas turun.
"Aku duluan ya."
"Ah, iya. Hati-hati Tya."
"Eh, bentar Aristya!"
Langkahku yang hendak turun terhenti sejenak. Kutatap sosok Yonas yang tak dapat kuartikan itu. "Boleh minta uname ataupun id sosmed-mu? Aku tetep mau ngobrol sama kamu."
Aku menghela napas panjang dan berjalan turun. Namun, sebelum benar-benar turun aku berucap, "Cari saja namaku dengan tambahan angka 4 di belakang namaku pasti nanti ketemu yang fotonya kucing. Kita ngobrol saja kalau kamu bisa ketemu akunku."
EmoticonEmoticon