Sabtu, 21 Desember 2013

Malam Penuh Hadiah

Banyak hal yang terjadi hari ini dan semuanya membuatku kesal. Bibirku berdecak tak mampu menahan amarah tumpah. Setiap barang yang kuambil selalu direbut oleh Stephani. Aku tak habis pikir apa yang dipikirkannya.

"Aku mau yang ini!"

Aku mendengus. Melempar kasar kotak kado berbungkus kertas merah cantik. Aku mengangkat tanganku di udara. "Ya sudah ambil saja!" balasku lelah tak mau ambil pusing dengan gadis menyebalkan itu.

Stephani memekik riang. Matanya menatapku seolah menang. Aku hanya berdecak meresponnya. Kekanakan. Tangannya penuh dengan tumpukan kado. Meraup semua kotak hadiah yang ada dengan tamak. Beberapa anak yang lebih kecil dari Stephani hanya beringsut mundur. Tak berani mendekati tumpukan kado besar yang sudah ditandai oleh Stephani.

Tumpukan kotak kado berukuran kecil dan tipis kini yang tersisa. Aku segera menyuruh anak-anak kecil untuk mengambilnya. Kusarankan mereka tak mengusik iguana taman bernama Stephani yang terlarut dalam lautan kotak kado besar.

"Ambil yang kalian mau lalu kembali ke kamar dan tidur."

Mendengar komandoku si sulung nomor dua, anak-anak di asrama memekik riang. Sebagai orang yang paling tua kedua di antara anak-anak asrama, aku memang harus mengayomi dan mengalah. Bukan seperti si sulung pertama yang sinting mengambil semua hadiah besar yang harusnya dibagi rata.

Malam Penuh Hadiah by restyu
Ilustrasi oleh restyu.

Anak-anak sudah kembali ke kamar mereka. Tumpukan kado yang dikirimkan donatur yang awalnya menggunung tinggal sebuah kotak kecil. Satu kado yang tersisa hanya untukku yang belum mengambil sama sekali.

Riana masih sabar menemaniku tersenyum. Ia melompat berdiri dari kursi. Buru-buru ditarik tanganku untuk bergegas kembali ke kamar kami. Matanya beberapa kali melirik kotak kadoku.

"Kamu gak mau membukanya?"

"Apa harus?"

"Yah, tentu saja! Aku sudah buka hadiaku! Lihat! Lihat! Aku dapat sebuah bros perak dengan batu biru yang cantik! Ini akan terlihat cocok dengan gaun putihku kan?"

Aku hanya mengangguk menjawabnya. Riana terlihat senang dengan hadiah itu sibuk memamerkan bros padaku.

"Syukurlah jika kamu senang," aku hanya menanggapinya pendek.

Kami berjalan menelusuri lorong yang temaram. Cahaya lilin yang redup dan sinar bulan purnama menjadi penerangan langkah kami. Beberapa kali aku masih mendengar teriakan anak-anak yang memekik riang. Kotak kado yang mereka terima kecil tetapi apa yang ada di dalamnya kurasa sangat menyenangkan hati mereka.

Aku buru-buru mendengus ketika langkahku dihentikan Stephani. Sosok berambut arang itu berkacak pinggang. Tangannya bersedekap di depan dada. Tak lupa tubuhnya menghalangi pintu.

Riana menghela napas panjang. Kotak kado mungil berisi brosnya disimpan dalam kantung piyama. 

"Kenapa lagi?" tanyanya malas.

Stephani mengulas senyum yang penuh arti. Tangannya terulur padaku. "Sebagai anak yang paling sulung dan paling cantik di asrama ini kalian harus memberikanku hadiah yang kalian dapat si nomor dua dan si nomor 3," omong kosong itu meluncur tanpa tahu malu dari bibirnya.

"Oh astaga," bibirku terbuka lebar. Takjub dengan ucapannya. Aku si nomor dua dan Riana si nomor tiga tak habis pikir dengan hal absurd yang terucap itu.

"Berhentilah berkata omong kosong dan tidurlah sekarang. Aku tak akan memberikanmu apa pun," balasku malas.

Mata si sulung berkobar marah. Tangannya mencoba meraih kotak kado yang kupegang tetapi segera kutepis. Dia hanya meringis mengusap tangannya yang memerah. Hah, rasakan itu!

Aku tersenyum padanya penuh arti. Mataku menyipit membentuk sabit. "Aku tak peduli kamu mau mengadu atau entah melakukan apa nanti. Aku sudah sangat lelah dan kamu keterlaluan sudah mengambil semua kado yang besar. Jadi tidurlah sekarang," kudorong tubuhnya menyingkir dari depan pintu dan bergegas menarik Riana masuk.

Lengkingan syok dari Stephani tak kugubris. Kudengar di balik pintu ia berdecak dan mengumpat. Aku tak ambil pusing dan berjalan ke kasur. Kubaringkan tubuhku dan mengabaikan sosok si iguana taman yang masih ribut itu.

Riana menatapku sedikit kasihan. Ia yang sudah berbaring di ranjang menoleh ke arahku. "Lyn, kamu yakin gak apa-apa? Besok Stephani pasti akan memberikan tugas yang banyak padamu," tukasnya khawatir.

Aku tertawa kecil mendengarnya. "Memang kapan dia tidak pernah begitu huh?" balasku enteng.

Stephani, si sulung di asrama, tak pernah bekerja. Dia adalah bos yang memerintah dan mengoper semua pekerjaan padaku. Satu hal yang diambilnya hanya apresiasi atas kerja kerasku yang bangganya. Meninggalkanku yang tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lelah.

Aku hanya tersenyum saja mendengar Riana yang masih sibuk khawatir padaku. Kuraih kotak kado yang menjadi incaran Stephani. Kutarik pita yang membungkus cantik balok itu. Sebuah pena bulu cantik dan kertas pesan terselip di dalamnya.

Kupegang pena yang terukir indah dan mengkilap itu. Bulu putih yang panjang dan halus membuatku tak bisa berhenti menyentuhnya. Mataku teralih menatap sebuah pesan singkat setelah mengagumi benda itu.

Nak, kuharap kau menyukai pena yang kuberikan ini. Kuharap pena ini akan mengubah masa depanmu dengan menjadikanmu lebih bersemangat untuk belajar. Kuharapkan kesuksesan selalu menyertaimu kelak. Belajarlah dan cobalah masuk ke Sekolah Tinggi Wardz. Aku akan menanti siapa pun yang mendapatkan pena ini untuk masuk ke kelasku kelak.

Profesor Harold Dawn.

Aku tersenyum  membacanya. Kutatap lekat-lekat tulisan tangan yang indah dan rapi itu. Kurasa ini kado terbaik untukku.

coretan oleh resyu.


EmoticonEmoticon