Rabu, 09 Oktober 2013

Si Rubah

Tinggal di asrama sekolah rasanya sangat membosankan. Apa lagi mengingat asrama ini berada di pinggiran kota, nyaris masuk ke wilayah pedesaan bahkan. Jikalau ingin kembali ke kota harus menempuh bus yang terakhir lewat jam 5 sore. Waktu malam hari hanya ada kendaraan truk besar yang lewat hingga pukul 9 malam. Selebihnya tak ada kendaraan lagi lewat jika belum pagi hari.

Kali ini lorong yang menghubungkan koridor utama sangat ramai. Siswa-siswi sibuk bergegas menuju ruang makan di sebelah koridor utama. Ruangan makan adalah ruang terbesar nomor dua setelah aula Sekolah Menengah Quinen. Jam makan malam yang akan dimulai 20 menit lagi sukses membuat semua orang yang kelaparan bergegas.

Aku menyeret langkahku gontai mengikuti Emally ke ruang makan. Teman sekamarku dengan rambut pirang platina itu terlihat cantik dihias sebuah jepit pita merah. Mata hijau daunnya menambah akses bahwa dia layaknya peri dari buku dongeng.

Kami melewati pintu ruang makan yang terbuat dari kayu pinus tua. Deretan meja disusun beradasarkan urutan kelas. Aku berjalan ke meja paling kanan, meja anak-anak kelasku. Beberapa kali aku menyapa temanku yang sudah duluan datang sebelum duduk di samping Emally.

Aku yang sudah duduk anteng menghela napas. Ann dan Lissa hanya tertawa kecil melihatku sebelum mereka sibuk mengobrol dengan Emally. Aku menatap pintu menunggu Nyonya Emeralda tiba. Beliau adalah kepala sekolah yang selalu memimpin acara makan kami.

"Kau tahu tidak? Makan malam kali ini akan dimulai lebih cepat," Ann tiba-tiba berbisik di telingaku. Gadis itu menarik tubuhnya kembali tegak dan merapikan poninya.

"Kau bercanda ya? Nyonya Emeralda tak mungkin memulai makan malah lebih cepat. Beliau selalu mengikuti aturan tepat waktu," balasku. Faktanya memang Nyonya Emeralda selalu melakukan apa pun tepat waktu. Kami kerapa menganggapnya sebagai aturan tepat waktu Nyonya Emeralda yang kolot.

Ann hanya tersenyum. Jemarinya menyisir poni di atas keningnya. "Aku hanya menebak asal kok," balasnya enteng. Kepalanya menoleh ke arahku sejenak sebelum tersenyum tipis, "Oh iya, terima kasih untuk pena yang kau berikan tadi. Aku akan menggantinya besok."

"Dasar," cibirku yang dibalas Ann dengan tawa kecil.

Gadis berambut eboni itu memeras kantongku tadi ketika kami mengunjungi toko alat tulis. Aku yang awalnya hanya membeli buku sesuai arahan Nyonya Elly harus mau tak mau ikut membayar pena super mahal yang dibeli Ann. Aku tak habis pikir kenapa dia sangat senang mengoleksi pena.

Si Rubah by restyu
Ilustrasi oleh restyu.

Aku menguap beberapa kali karena mengantuk. Kutatap sisi lain meja panjang di area kelasku. Mataku menatap James dan Sam yang sibuk membual omong kosong. Hatiku berdecih mencuri dengar omongan mereka. Mereka itu adalah rubah picik yang sangat kurang ajar, terutama untuk si sialan James.

James si picik dan tukang drama. Dia adalah satu sumber dari masalah di kehidupan sekolahku. Aku heran kenapa dia selalu mengusikku dan memutar balikkan apa yang kuucapkan. Sebuah kemalanganku memang kenal dia sebagai teman sekelas.

Aku tak tahu kenapa, James menarik obrolan dan selalu menyudutkanku. Bahkan ia kerap mengatakan hal yang tidak-tidak. Lantas ketika aku menegurnya, ia selalu berakting jika aku memarahinya. Akhirnya banyak orang, terutama anak perempuan, termakan akan akting dan air mata palsunya itu. Salah satu korban dari akting si rubah itu adalah Victoria, si gadis kaya keluarga Arhanz yang entah kenapa menjauhiku tanpa alasan.

Victoria, Jully, dan Suzy. Sekawanan anak perempuan yang kurasa jadi perisai James jika sedang berdebat denganku. Mereka memojokkanku dengan ancama dari keluarga Victoria yang terpandang, berbeda dengan keluargaku yang sangat sederhana. Aku hanya mendengus kesal mengingat hal yang tak menyenangkan.

Lamunanku tebuyar kala Nyonya Emeralda memasuki ruangan makan. Keadaan senyap ketika kaki jenjang wanita itu meniti karpet merah sepanjang ruang makan. Ia berjalan ke meja yang ada di panggung sebelum duduk dengan anggun. Guru-guru segera duduk rapi samping Nyonya Emeralda sesuai tingkatan mereka.

"Selamat malam semua, kuharap hari kalian berjalan dengan indah hari ini," suaranya terdengar anggun ketika bibir yang dipoles lipstik merah itu terbuka. Matanya sedikit menyipit bak sabit ketika tersenyum. "Mari kita berdoa sebelum memulai acara makan malam kita kali ini."

Kepala semua orang sedikit menunduk dan berdoa dengan khusyuk. Setelah sesi berdoa selesai makanan segera dihidangkan. Aku menatap menu makan malam yang selalu beragam. Kadang aku penasaran berapa lama Nyonya Juliana, tukang masak di asrama, menghabiskan waktu di dapur.

Aku meraih semangkuk sup jagung dan roti hangat. Tak lupa kuambil salad kentang sebagai makanan pembuka dan puding mangga sebagai penutup. Aku bergegas mulai menyantap makanan yang kupilih. 

"Ah, aku hampir lupa," ucapan Nyonya Emeralda sukses menghentikan aktivitas kami. Denting alat makan semuanya terhenti. "Aku ingin memberikan apresiasi pada kelas sastra asing. Kelas kalian sangat rapi dan bersih selama berbulan-bulan. Kerja bagus anak-anak."

"Terima kasih pujiannya Nyonya Emeralda. Kami sangat berjuang keras untuk menciptakan sistem piket yang teratur dan disiplin. Saya adalah orang yang mempelopori hal ini Nyonya," James tersenyum membalas pujian Nyonya Emeralda dengan dada membusung sombong.

"Benarkah itu James? Iya benar aku sangat bangga padamu."

Aku berdecak mendengarnya. Ekor mataku melihat James yang tengil menyombongkan diri akan pencapaiannya itu. Bull shit. Hei, James Kalleid, kau sama sekali tak pernah piket dan bukan kau yang membuat sistem piket kelas dasar sialan. Aku meremas sendok perak yang kugenggam. Rasa laparku seketika lenyap mendengar James yang terus menimpali omongan Nyonya Emeralda.

James menoleh sepintas ke arahku. Matanya menyipit dan senyum tipis yang luar biasa terlihat picik menghiasi wajahnya.

"Namun, aku tak bisa bekerja tanpa bantuan teman terbaikku Nyonya Emeralda. Aku mendapatkan banyak bantuan dan selalu diingatkan oleh Nona Jessica Harold."

"Benarkah? Kalian pasti bekerja sama dengan sangat baik kalau begitu. Benar bukan, Jessica?"

Teman-teman terdekatku yang mengetahui fakta sebenarnya hanya menatapku diam. Tak berani berbicara satu patah kata pun. Aku memang mengingatkan James untuk piket namun si bocah sialan itu selalu kabur piket itu kini dia menyeretku dalam omongannya. Teman-teman yang lain terlihat terkagum akan ucapan James yang mengingatku walaupun aku selalu ketus dan mengumpatinya. Sialan memang.

Aku menatap Nyonya Emeralda dan tersenyum tipis. Tak membalas satu kata apa pun. Aku berdeham sejenak dan pura-pura batuk. Napsu makanku yang lenyap entah ke mana membuatku enggan untuk melanjutkan makan tetapi dengan malas-malasan aku nekat menyuap sup ke dalam mulutku.

"Kuharap kalian akan selalu bekerja sama dengan baik. Aku akan menanti kontribusi kalian berdua kedepannya."

Aku nyaris tersedak mendengar ucapan Nyonya Emeralda. Mataku menatap James yang kian membusungkan dada bangga. Ia tersenyum padaku layaknya rubah yang mendapatkan mangsa yang dapat menghiburnya. "Tentu saja Nyonya Emeralda, Anda hanya perlu menunggunya," balasnya dengan senandung indah.

Aku merinding mendengarnya. Kulihat mata kecokelatan James yang erat menatapku. Aku tak tahu permainan apa yang akan dilakukan rubah itu. Namun, kurasa aku sudah terkurung dalam kurungan yang dibuat si rubah, James Kalleid.

coretan oleh restyu.


EmoticonEmoticon