Senin yang lumrah seperti yang sudah-sudah, aku duduk santai di kelas selepas upacara. Kelas yang nyaris di pojokan ini sangat hidup dengan bermacam obrolan bersautan. Namun, entah kenapa hawanya sedikit berbeda kali ini.
Tempatku duduk, paling depan nomor dua dari kiri, menjadi tempat strategis untukku yang agak bermasalah matanya. Kutengok ke belakang, menatap Devina yang sibuk mempelajari soal matematika karena nanti ulangan. Aku juga membuka buku matematika, salah satu pelajaran yang kurang kugemari.
"Dev?" kupanggil temanku. Buru-buru menyodorkan soal dari buku padanya. "Yang ini caranya gimana?" tanyaku menunjuk satu soal.
Devina segera meraih pensil dengan sabar menjelaskan padaku cara mengerjakan soal nomor 5 yang berisi garis singgung lingkaran. Kutatap lekat goresan pensil di atas permukaan kertas. Ucapkan Devina kucoba pahami seraya fokus saat menunjuk bagian-bagian gambar.
Gaduh. Baru juga beberapa menit kelasku agak normal, kini berubah atmosfernya mendadak. Riuh tepuk tangan terdengar. Aku hanya menatap beberapa temanku seperti Odil, Karin, Kiky, dan lainnya masuk ke kelas bersama anak laki-laki. Sebuah kotak janggal menarik perhatian.
Sedetik kemudian, beberapa orang menjauh dari kotak itu saat sekumpulan api berkobar galak. Mataku melotot melihatnya. Kok bisa?
Mengabaikan hal itu, beberapa temanku masih sibuk menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Dita yang kemarin berulang tahun. Tak butuh waktu lama, kotak kue itu mendarat di meja. Dita yang ulang tahun segera meniup lilin yang terbakar rata itu.
![]() |
Ilustrasi oleh restyu. |
Lagu ulang tahun masih terdengar, seperti tak ada habisnya. Aku yang masih kebingungan hanya ikut bertepuk tangan. Aroma khas sesuatu yang terbakar tercium memenuhi ruang kelas yang menggunakan AC. Ternyata apinya masih belum padam, justru membesar membuat heboh. Aku hanya diam, tak tahu harus berbuat apa.
Anak laki-laki dari kelas sebelah bahkan kini ikut datang. Alisku mengernyit melihat apa yang mereka bawa: kentongan, topi hitam, dan barang aneh lainnya. Mereka bergegas mendekati kotak kue yang nyaris terbakar itu dan mencoba meniupnya. Ya, bisa padam sih walaupun dengan cara tidak normal.
Memadamkan api dengan saliva yang dibuang ke kue. Apa itu cara yang normal? Tidak bukan? Bahkan Windra, teman sekelasku, ikut mencoba mematikan api dengan dasinya.
Situasi was-was perlahan mulai tenang. Lagi-lagi lagu selamat ulang tahun terdengar seperti tidak ada habisnya. Aku hanya diam menatap acara yang tak jauh dariku itu. Kuperhatikan Cahya dan Wulan yang masih setia di bangkunya, mereka sesekali tertawa mengingat kejadian aneh itu.
"Aku gak mau makan kuenya!" Dita menolak kue yang tercemar dengan pemadaman anarkis itu. Temanku yang lain tak tinggal diam akan keputusan sepihak itu. Diambilnya krim berwarna biru di kue dan mengoleskan ke wajah Dita.
Dita hanya beteriak memprotes. Tak terima dengan apa yang terjadi. Segera ia mengejar Odil dan kawan-kawan lain ikut membalas.
Devina yang tak bisa tinggal diam ikut membaur. Beruntungnya dia berhasil mengoles sedikit krim ke wajah si yang ulang tahun. Usai puas mengerjai yang ulang tahun, buru-buru dia kembali ke tempat duduk.
"Rotinya gimana Dev? Kebakar semua?"
Tawa adalah jawaban yang kudapat. Kepalanya mengangguk pelan. Aku hanya ikut tertawa dan menatap kue yang teronggok naas di atas meja.
"Harusnya lilinnya gak ditaruh deket-deket," cetusku.
Devina mengangguk menginyakan. "Untung gak mbakar*1) kelas," timpalnya. Aku lagi-lagi mengangguk membenarkan.
"Rotine kobong*2)," celetukku lagi.
Aku dan Devina kompak tertawa. Lantas helaan napas panjang lolos dari bibirku. Ada-ada saja hal yang terjadi di kelas ini. Aku gak yakin jika suatu saat hal ini tidak akan terulang lagi.
oleh restyu, pengalaman di 050213.
*1) Membakar/terbakar.
*2) Terbakar.
EmoticonEmoticon