Rabu, 23 Januari 2013

Kapal Kematian

Malam berbintang memenuhi gelap angkasa. Kumpulan rasi membuat mulut terkagum. Aku berjalan di hamparan pasir sambil membekap erat jaket usang di tubuh. Tak jauh dariku terdengar derit tong-tong kayu menggelinding. Rasa penasaranku membuatku berlari kecil dengan rok sedikit diangkat.

Mataku menangkap kapal tua berwarna kusam bersandar di pantai. Kapal besar dan kokoh, akan tetapi suram dan menyeramkan. Kuperhatikan tiang tinggi di tengah kapal. Bendera hitam dengan gambar tengkorak berkibar dihembus angin. Mulutku terbuka, terkagum melihat kapal perompak untuk kali pertama.

Kapal reyot itu terlihat sibuk. Awak kapal berbadan gemuk berkutat dengan tong kayu yang berderit setiap berputar. Seorang awak cungkring melapor ke kapten yang berdiri di tengah kapal. Pria tua berjanggut itu diam menghadap samudra kala mendengar laporan kemudian berputar dan meneriaki anak buahnya.

“Bersiap naik! Kita akan berlayar!”

Komando itu membuat awak kapal bergegas menyelesaikan pekerjaan mereka. Berbondong ke kapal dengan tong kayu yang berderit layaknya tikus. Aku hanya memerhatikan mereka dalam diam di balik batu karang.

Samar-samar suara gaduh mereka kian senyap. Tiba-tiba angin berhembus kencang membuat mataku terpejam sejenak. Namun, angin itu sedetik lenyap dan kapal perompak itu sudah menyebrangi samudra.

Kabut tebal entah dari mana muncul di tengah laut. Menutup kapal suram itu seolah menelan mereka dalam putih. Aku mengedipkan mata melihat apa yang terjadi, seolah seperti sihir ilusi yang kulihat di sirkus. 

Bibir pantai sudah sepi, tak ada bekas jejak para perompak itu. Seolah mereka tak pernah menepi. Pasir-pasir yang awalnya basah lembap tiba-tiba mengering. Retakan besar dan panjang muncul tiba-tiba, seperti gempa baru saja terjadi di sepanjang bibir pantai. Lantas tong-tong kayu mulai muncul dari retakan itu. Aku menjerit melihatnya, terkaget dengan apa yang terjadi.

kapal kematian by restyu
Ilustrasi oleh restyu

Tong kayu mulai berderit heboh, bergerak liar dan brutal bak kerasukan. Tak lama tutup kayu di atas terbuka, beberapa orang terlihat muncul dari dalam tong. Mereka terlihat pucat, mirip orang yang berada di rumah jenazah. Tangan mereka menarik tong mereka muncul, bangkit dan berjalan ke laut.

Aku menutup mulutku buru-buru. Mayat hidup! Bibirku komat-kamit melihat hal itu. Ini mirip dengan film horor yang kulihat dengan ayah di layar tancap tengah kota. Gila! Mayat hidup benar ada ternyata!

Koloni mayat hidup itu berbondong ke samudra dengan tong mereka. Tubuh mereka terlihat menyeramkan, beberapa terlihat utuh dan beberapa tidak. Bahkan, ada beberapa yang nyaris terlihat tulang semua dengan daging membusuk. Suara aneh terdengar dari bibir mereka, seperti suara mesin tua rusak yang dipaksa jalan. Aku menutup telinga mendengar jeritan mereka yang kian jadi. 

Mereka kini masuk ke tong yang mengapung ke samudra. Mereka terlihat semakin kecil dimakan kabut. Retakan di bibir pantai lantas mulai tertutup sendiri, seolah luka yang bisa sembuh. Aku menatap laut yang luas, para mayat hidup itu kini sudah menyebrangi samudra.

Waktu berlalu cepat, entah sudah berapa minggu aku berulang kali mengunjungi pantai. Mengintip di balik batu raksasa di mana aku melihat mayat hidup dan kapal perompak. Setiap mentari di  pucuk pelarian, aku selalu mengunjungi tempat ini. Bulatan kuning yang awalnya utuh tinggal separuh di ujung laut, gliter bintang perlahan mengisi langit.

Aku menatap samudra yang terlihat menggelap di malam. Terpesona akan sesuatu hal misterius di sana. Kalau boleh jujur, aku jenuh di rumah yang sepi. Ayah, si hakim terkenal, sibuk dengan buku dan kasus. Bibi, adik perempuan ayah, yang berkutat dengan pakaian dan perhiasan glamor. Lantas aku, si kecil yang kesepian dan sendirian.

Suara ombak mendayu membuatku sedikit mengantuk. Saat aku mendongak, bulan perak berkawan dengan bintang. Aku menyandarkan kepala di atas lutut, menatap bengong ke laut gelap dengan pantulan bulan. Sebenarnya malam ini ayah melarangku bermain keluar, tetapi aku yang tak peduli dan mengenyel saja.

Ayah mewantiku akan legenda malam penjemputan. Aku tak ambil pusing akan takhayul itu. Takhayul yang mengatakan bahwa Kapten Sam, si kapten kapal kematian, akan menjemput jiwa penasaran dan lelah orang di pulau ini. Aku mendengus mengingat perkataan ayah yang super sibuk dan jarang ada waktu itu. Lagi pula, terjebak di rumah sendirian hanya menyesakkan bagiku.

"Halo! Kau sendirian?"

Aku menoleh ke samping. Anak laki-laki berpipi tirus dengan senyum lebar dan pakaian lusuh menyapaku. Tanpa permisi, ia langsung duduk di sampingku menghadap laut. “Bosan ya?” tanyanya tengil sok tahu.

“Kau siapa?” cecarku tak ramah. Alih-alih menjawab, ia tertawa. Alisku berjungkit menatapnya aneh.

“Aku tak tahu namaku,” jawabnya enteng sambil menyengir. Aku mendengus mendengar guyonan itu, tidak lucu sama sekali. “Namun, ayah sangat senang memanggilku Jo."

“Jo?” aku membeo memanggil namanya. Dia hanya tertawa kecil dan mengangguk antusias.

“Siapa namamu?” Jo dengan penasaran menatapku. Matanya berkedip beberapa kali seperti anak kucing melihat sesuatu yang menarik.

“Aku Emilly tapi kau bisa memanggilku Emi." 

Bocah laki-laki itu menyengir lebar. "Emi!" panggilnya antusias. Dia terlihat bersemangat seperti anak anjing milik Ayden, tetangga samping rumahku.

Jo yang tiba-tiba berdiri menarikku tanpa aba-aba. Aku nyaris terhuyung jatuh bila tak bisa menyeimbangkan badan. Tertatih aku mencoba mengikuti langkah cepat Jo yang menarikku.

"Kita mau ke mana?"

"Bermain?"

"Hu-um! Kita akan bermain di tempatku."

Tubuhku terseok mengikuti langkah berapi Jo. Kami semakin mendekat ke bibir pantai. Mataku melebar melihat kapal perompak beberapa minggu yang lalu bersandar di pantai. Kucoba menahan Jo untuk menarikku semakin mendekat ke sana.

"Jo, berhenti sebentar," aku mencoba menarik lengan Jo. Menahan bocah itu berjalan menyeretku sejenak. "Bermain di tempatmu yang mana sih?"

Jo tersenyum membalasku tanpa peduli denganku yang kepayahan mencoba menghentikannya. "Tentu saja di kapal. Kapal itu rumahku," jawabnya enteng sambil menunjuk kapal perompak. "Aku akan mengenalkanmu ke ayahku juga. Dia pasti akan senang mengetahui aku memiliki teman!"

Tubuhku bergetar mendengarnya. Jo adalah perompak! Aku kalang kabut mencoba kabur dari kapal perompak yang sudah kuinjak sekarang. Beberapa awak menyapa Jo hangat dan tersenyum menyapaku. Aku hanya dapat bergidik kalut membalasnya. Aku tak menyangka jika Jo adalah perompak, artinya dia adalah kriminal! Kriminal! Aku tak bisa membayangkan betapa murkanya ayahku jika mengetahui aku berteman dengan kriminal!

"Kau membawa temanmu nak?"

Sekujur tubuhku bergidik mendengar suara serak itu. Mataku menatap pria tua berjanggut, si kapten kapal, yang kulihat beberapa waktu yang lalu. Jo hanya menyengir dan mengangguk membenarkan. 

"Iya ayah. Emi akan menjadi teman yang selalu menemamiku setiap ayah bekerja menjemput jiwa orang-orang!" Jo menjawab dengan senyum lebar. Ayah Jo, si Kapten Sam, hanya tertawa serak mendengar ucapan anaknya. Terlihat senang dengan anaknya yang memiliki teman. Jo menoleh ke arahku, "Emi akan menjadi temanku kan?" 

Jantungku seolah akan berhenti ketika melihat Jo. Wajah Jo kini berubah, berbeda sekali dengan apa yang kulihat di bibir pantai tadi. Wajah pucat dengan luka sepanjang pelipis. Tangannya yang mencengkramku kini berubah menjadi tulang tanpa daging.

"Ayo bermain denganku Emi! Kita akan bersenang-senang untuk waktu yang lama."

Aku bergetar takut mendengar ajakan Jo. Kepalaku refleks menoleh ke belakang. Tanpa kusadari kapal tua ini sudah berlayar lepas dari bibir pantai. Tong kayu berisi mayat hidup mengikuti kapal berlayar dimakan kabut tebal. Ayah, kurasa aku tak akan bisa pulang dan akan terus bermain dengan Jo di setiap malam penjemputan.

coretan oleh restyu

This Is The Oldest Page


EmoticonEmoticon