Aku bergegas keluar dari angkota setelah mendapat kembalian dari sopir. Buru-buru berjalan membelah trotoar yang selalu padat setiap siang hari. Perjalanan kali ini entah kenapa terasa sangat jauh. Padahal Ponten, tempat biasa aku menunggu mini bus, jaraknya tak sampai 200 meter dari tempatku turun.
Aku mendongak mendapati awan mendung berkumpul di langit. Atensiku dari langit segera teralihkan ketika mendapati orang asing yang mencolok. Buru-buru aku bersikap waspada.
Bapak-bapak yang aneh dan nyentrik berhasil membuatku was-was. Awalnya kupikir gila, mengingat penampilan yang nyeleneh. Aku yang merasa tak jauh darinya buru-buru berjalan cepat. Aku takut kalau tiba-tiba nanti dikejar.
Namun, dugaan tak beberdasar itu segera terbantahkan. Bapak itu waras hanya terlalu nyetrik saja. Aku bernapas lega setelah mencuri dengar obrolannya dengan pedagang lotis.
“Bis Rajawali di mana ya?”
“Ke terminal Pak, kalau mau naik Bis Rajawali.”
Obrolan singkat dengan penjual lotis itu berhasil membuat bapak itu bergegas naik angkot. Aku yang was-was akhirnya bisa benapas panjang. Lega dan plong begitu saja. Buru-buru aku melanjutkan perjalanan ke Poten.
Mendengar kata Ponten aku teringat akan cerita guruku. Tempat yang kutuju ini dulu katanya memiliki memiliki air mancur di tengahnya. Lantas entah kapan fountain alias si air mancur dihancurkan.
Namun, satu hal yang tak berubah adalah orang-orang tetap memanggil tempat ini Ponten. Sebenarnya harusnya fountain sih, tapi tahulah bagaimana lidah orang Jawa kalau bertemu Bahasa Inggris jadinya seperti apa.
Baca juga: Nggandul
![]() |
Ilustrasi oleh restyu. |
Lampu lalu lintas yang berubah merah membuatku bergegas menyebrangi jalan. Napasku berhembus lega ketika aku berdiri di depan warung kecil. Menunggu minibus arah ngetan*1) yang menuju ke rumahku lewat. Senyumku merekah lebar kala kernet minibus menawariku naik. Tanpa membuang waktu aku segera bergegas masuk dan duduk di samping pintu, tepat di sebelah kiri.
Atensiku teralih pada kernet sejenak. Bapak kernet itu sudah sepuh*2) masih bersemangat mencari penumpang. Aku mengerjap ketika seorang penumpang naik. Dia kakak kelasku yang tidak aku ketahui, hanya kukenal dari seragamnya saja.
Segera minibus ini melaju lamban. Aku tersenyum saat menerasakan deru angin menyapa wajahku. Dingin dan sejuk, beda dengan keadaan dalam bus yang sumpek. Kendaraan umum ini sedikit melambat kala melewati jalan menanjak. Atensiku memperhatikan sisi kiri jalan. Kulihat hal yang tak berubah seberapa banyak aku melewatinya, toko berisi berbagai kendaraan masih di sana dan selalu penuh.
Saat sampai di bangjo*3), minibis ini melambat ke arah kanan. Perhatianku jatuh pada sebuah rumah rumah. Bapak penah mengajakku ke rumah itu dulu untuk mengurus masalah tanah karena istri teman bapak adalah seorang notaris. Aku nostalgia saja melihat bangunan itu yang semakin menjauh saat roda minibus menggelinding.
Mobil polisi lantas menyapa mataku. Kendaraan itu berhenti mungkin beberapa meter dari sebuah rumah tua pinggir jalan. Beberapa polisi terlihat berjalan kembali ke mobil itu. Kepalaku sibuk berpikir menduga apa yang terjadi. Namun, aku hanya dapat makin penasaran tanpa mendapatkan jawaban.
Kini rel kereta api yang membelah jalan sudah dilewati. Kabupatenku ini memiliki satu stasiun kecil. Kereta yang dulu katanya aktif sekali tetapi kini sudah tidak lagi. Hanya ada sebuah kereta dengan satu gerbong yang berjalan sekali menuju ke Solo. Namun, aku belum pernah melihatnya sama sekali.
Kendaraan roda empat yang membawaku kini berbelok. Pohon besar yang tinggi menjulang terlihat rapi berbaris. Seiring dengan ban yang berputar, kutatap gapura yang perlahan menjauh. Aku ingat dulu aku pernah jalan-jalan sama bapak ke sana, ke Alas Kethu. Tempat dengan pohon yang banyak dan tinggi-tinggi, tetapi menyeramkan saat malam karena nyaris terasa tidak ada lampu.
Bangunan yang entah apa nama dan fungsinya segera kulewati. Aku tak tahu bangunan apa itu tapi selalu penasaran karena terlihat besar. Namun, aku tak kunjung dapat jawabannya hingga sekarang. Perjalanan melewati Alas Kethu banyak melewati hutan jadi. Sesekali bau sampah tercium karena melewati satu tempat besar penampungan sampah.
Terlalu banyak berpikir membautku tak sadar jika telah tiba di Agraria. Aku diam saat minibus ngetem*4). Ini dekat dengan sekolah dasarku dulu. Tak butuh waktu lama, kendaraan ini makin penuh karena sudah waktunya pulang.
Brak! Pintu bagasi yang terdengar keras dibanting membuatku menoleh. Seorang nenek masuk berjalan lambat. Kuamati wajahnya yang berkeriput dengan uban di kepala sebelum ia balas menatapku.
“Lungguh mriku*5),” ucapnya pelan sambil menunjuk kursi lain.
Aku yang tak terlalu fokus buru-buru berdiri dan bergeser. Dengan canggung aku duduk di kursi lain yang tak jauh dari tempatku tadi. Menuruti kata simbah*6) tadi, walaupun aku tak tahu kenapa aku harus pindah tempat.
Minibus kini kembali berjalan saat perasaanku merasa sedikit tidak nyaman. Mungkin karena di belakangku ada mas-mas, makanya aku kurang nyaman. Aku mengulum senyum dan kembali menikmati perjalanaku.
Lagi-lagi minibus yang kunaiki berhenti. Beberapa mbak-mbak SMA segera masuk. Aku diam saat salah satu dari mereka duduk di sampingku. Aku yang meliriknya sepintas segera bengong kembali berpangku menatap pemandangan di luar jendela.
Mengamati pemandangan lalu lintas yang cukup padat. Aku memerhatikan beberapa kendaraan yang menepi dan berhenti. Saat sampai di Pasar Pokoh minibus berhenti dan dua mbak SMA yang tadi naik kini turun. Jalanan yang sedikit menanjak membuat kendaraan ini lambat merayap di aspal.
Semakin lama jarak yang ditempuh semakin dekat ke rumahku. Kaca jendela yang dilapisi semacan plastik tipis hitam membuatku bisa melihat pemandangan sedikit lebih gelap. Angin dari kaca jendela berhembus memberi sensasi dingin menyentuh wajah.
Aku menoleh ke kanan, memperhatikan di mana aku berada sekarang. Menyadari sudah sangat dekat rumah, aku bergegas bersiap turun. Kubalik tasku dan disampirkan salah satu pegangan tas di bahu kananku. Berjalan mendekat ke pintu di mana kernet minibus berada. Aku sedikit menunduk dan menyentuh bahu kanan bapak itu.
“Pak tambal ban,” ucapku dan menyerahkan uang seribu rupiah kepadanya. Bapak itu segera mengetukkan uang logam lima ratusan di kaca dan berteriak tambal ban sebelum sopir minibus mengerem berhenti tepat di depan tambal ban.
Turun tergesa dari minibus, pemandangan yang selalu menyapaku setiap pulang membuatku tersenyum. Aku berdiri di sisi jalan raya. Kutengok kanan dan kiri sebelum menyebrang jalan yang sepi. Buru-buru kutarik pagar besi tua yang berat di depan rumahku sebelum melepas sepatu ke dalam rumah.
Ya, aku akhirnya sampai di rumah selepas sekolah. Akhirnya aku pulang.
Baca juga: Berkendara Pulang dengan Minibus
oleh restyu, pengalaman di 250313.
EmoticonEmoticon